KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong agar kebijakan penghapusan sunat perempuan tidak hanya untuk bayi, balita dan anak prasekolah, tapi juga berlaku pada perempuan di semua umur. Hal itu disampaikan menyikapi aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
Dalam keterangan tertulis, Rabu (28/8), Komnas Perempuan mencermati bahwa kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan merupakan bagian dari upaya kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup dan diarahkan pada usia bayi, balita, dan anak prasekolah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 100-102 PP Kesehatan.
Baca juga : Sunat Perempuan Adalah Diskriminasi dan Kekerasan
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani menjelaskan
penelitian Komnas Perempuan dan PSKK UGM pada 2017 menemukan bahwa ada cara pandang orang tua bahwa sunat perempuan bermanfaat bagi anak perempuan. Padahal bukti-bukti dari sisi medis menunjukkan bahwa praktik sunat perempuan justru memberi dampak membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental dari anak perempuan.
Baca juga : KDRT Tandai Perempuan Belum Merdeka di Saat HUT ke-79 Indonesia
“Secara khusus praktik sunat perempuan dengan memotong jaringan atau bagian dari organ tubuh yang sehat dapat menimbulkan infeksi, kerusakan organ reproduksi dan permasalahan kesehatan jangka panjang bagi anak perempuan, bahkan kematian karena pendarahan,” demikian disampaikan dalam keterangan tertulis Komnas Perempuan.
Baca juga : KDRT Sering Terlambat Dilaporkan karena Ketimpangan Relasi Kuasa
Lebih jauh penelitian itu menunjukkan bahwa 92% alasan keputusan orang tua dipengaruhi oleh pemahaman agama mengenai sunat perempuan sebagai perintah agama. Padahal, hasil kajian Kongres Ulama Perempuan Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa P2GP tanpa alasan medis adalah haram.
“Praktik sunat perempuan yang masih terjadi di Indonesia sampai saat ini, terang dia, menyebabkan pelukaan dan pemotongan pada genitalia perempuan, memiliki dasar pemikiran dan pendekatan yang diskriminatif berbasis gender,” ucapnya.
Baca juga : Sinergitas Data Kunci Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan
Andry Yetriyani dari Komnas Perempuan menegaskan Kajian Komnas Perempuan di Gorontalo pada tahun 2023, misalnya, mencatat bahwa alasan sunat bagi anak perempuan untuk menghilangkan dosa waris yang sudah melekat pada diri perempuan seperti sikap binal, selingkuh dan menentang suami. Hal ini berbeda dengan sunat pada anak laki-laki yang mempunyai alasan positif demi kesehatan dan kenikmatan seksual.
Selain itu, imbuh dia, praktik sunat perempuan dilakukan dengan cara beragam tanpa terlalu memerhatikan aspek kesehatan dan kebanyakan usia anak di bawah dua tahun sehingga anak belum dapat ditanya kesediaannya. Sedangkan khitan laki-laki dilakukan dengan alat-alat yang steril ketika anak sudah berusia di atas 10 tahun dan sudah bisa ditanya kesiapannya.
“Kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan menguatkan jaminan konstitusional pada perlindungan dari diskriminasi berbasis gender dan hak atas kesehatan yang tentunya mencakup pula hak kesehatan reproduksi semua orang dewasa maupun anak-anak,” tegasnya.
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1636/PER/MENKES/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan, khususnya Bab I Pasal 1 Ayat (1) sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sunat perempuan atau mutilasi alat kelamin perempuan sebagai segala prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin wanita bagian luar atau cedera lain pada alat kelamin perempuan karena alasan non-medis.
Komnas perempuan mengadopsi terminologi ‘pemotongan/pelukaan genitalia perempuan (P2GP)’ yang diperkenalkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dana Kependudukan (UNFPA).
Risalah Kebijakan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan: Praktik di 10 Provinsi (2018) ini menemukan bahwa umumnya P2GP dilakukan pada usia anak, terbanyak rentang 1-5 bulan (72,4%), disusul 1-4 tahun (13,9%), 0 bulan (5,3%), 6-11 bulan (5,1%), 5-11 tahun (3,3%).
Data SPHPN 2021 menunjukkan bahwa ada sekitar 21,3% anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama menjalankan praktik sunat perempuan kriteria WHO atau dengan adanya pemotongan atau pelukaan dan sekitar 33,7% sunat perempuan dilakukan secara simbolis.
Alimatul Qibtiyah menambahkan bahwa kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan merupakan salah satu bukti kemajuan upaya pemenuhan HAM oleh Indonesia.
Kebijakan itu juga sejalan dengan amanat Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melarang tindak penyiksaan seksual.
Komnas Perempuan mengingatkan agar road map pencegahan sunat perempuan (sering disebut Pencegahan P2GP) yang menyasar berbagai elemen benar-benar dijalankan dengan baik dan ada langkah nyata dan terukur dalam implementasinya. (H-3)