Panggilan untuk Tunas Muda Balamut Tatamba

  • Share

Lamut membakar dupa bapanggih, harumnya tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi,

kukusnya meliputi semesta alam, tujuh bidadari dipanggil, turun dari Suralaya tundung

maya ke bumi diundang Grace Natali.

Baca juga : No Risalo, Perkenalan Bayi Bugis pada Dunia Atas hingga Bawah

 Kukus menyan datang di Surga Loka Kayangan Tundung Maya, manyuruh tujuh bidadari

turun ka bumi, mandatangi undangan Grace, sampai di hadapan tukang Ki Dalang

 “INGGIH pun. Ya, Kakang Lamut siapa nang maundang bidadari tundung maya?”

Baca juga : Meredefinisi Pundhen untuk Kehidupan yang Berkelanjutan

“Baik,” ujar lamut. “Syukur am datangan berataanlah. Unda ni diperintah urang jua. Unda ini mewakili saudara Grace untuk memanggil atau mengiyau bubuhan nyawa ni. Kanapa?” ujar Lamut, “Maka mangiyau? Nah, karena sidin ini handak mambari tahu. Sidin handak membayar utang-piutang.” ….

“Ya Kakang Lamut, Ya syukur, inggih ulun tarima, Kakang.”

“Bagus,” ujar Lamut. “Sasudah manarima,” ujar Lamut, “na lah, jangan bulik badahulu. Tunggu! Kecuali izin Grace bulik, maka bulik. Kalo tidak, tunggu di sini!”

Baca juga : Gelegar Wayang Potehi Jombang di Majelis Umum UNESCO

 

Di ruang tamu yang hanya bisa menampung sekitar sepuluh orang itu asap kemenyan putih mengepul dari tungku perapian, memenuhi ruang tamu. Pada Sabtu (8/6) malam itu Ferdi Irawan menjadi penutur cerita Lamut (palamutan).

Pemuda 22 tahun itu memberanikan diri menerima permintaan dari keluarga Tionghoa Banjar di Kampung Melayu Darat, Banjarmasin, untuk melaksanakan ritual balamut tatamba atau pengobatan untuk Grace, 4, yang mengalami keterlambatan bicara. Di hadapan Ferdi terhidang sesajian jajan khas Banjar.

Baca juga : Dendang Kaba dan Talempong di Panggung Napoli

Sebelum ritual dimulai, kepada para tamu, nenek Grace menceritakan saat ini keluarga berusaha agar Grace bisa cepat bicara seperti anak seusianya. Mereka telah dan terus mencoba mencari berbagai macam terapi, baik yang modern maupun yang tradisional.

Mereka mengadakan balamut tatamba ini untuk menindaklanjuti pertanyaan seorang guru spiritual saat keluarga ini datang menanyakan mengapa cucunya lambat bicara. Sang guru itu bertanya apakah keluarga Grace punya hajat balamut?

Pertanyaan tuan guru itulah yang mengingatkan keluarga Grace bahwa dulu punya niat membayar nazar dengan balamut kalau sudah sembuh dari penyakit yang lain, tetapi lupa dilaksanakan. Balamut pada malam itu diniatkan nenek Grace untuk kesempurnaan cucunya.

Nenek Grace bisa tersambung dengan Ferdi karena keluarga besannya yang punya banyak kawan seniman tradisi. Saat Ferdi mendapatkan permintaan itu, dia tidak bisa langsung memutuskan. Dia sadar bahwa jam terbangnya dalam balamut masih pemula dan selama ini fokus ke balamut hiburan (karasmin) yang profan.

Komunitas balamut di Banjarmasin khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya, mengenal tiga fungsi balamut: hiburan (karasmin), hajatan (bahajat), dan pengobatan (tatamba). Balamut bahajat dan tatamba bersifat sakral dan terdiri atas lima tahap: tampung tawar, bahundang-hundang, bakisah, mambulikakan, dan doa. Kelima tahap itu tidak ada dalam balamut karasmin. Tidak mudah menguasai kelima tahap itu bagi penutur cerita lamut (palamutan) yang tidak punya keterampilan lisan yang baik, wawasan yang luas, dan nyali.

Di tengah kebimbangan itu Ferdi meminta izin, restu, dan dukungan dari keluarga palamutan almarhum Gusti Jamhar Akbar. Setelah mendapatkannya, dia minta bimbingan kepada pemilik dokumentasi pertunjukan balamut bahajat.

Dengan persiapan yang hanya seminggu, Ferdi belum bisa lepas kertas yang berisi transkrip bahundang-hundang (menghadirkan undangan dari alam lain) dan mambulikakan (mengembalikan para undangan dari alam gaib). Namun, pada fase menuturkan kisah Raja Bungsu sampai Kasan Mandi, dia sudah mulai bisa lepas dari transkrip. Meski begitu, dia masih belum lancar memadukan berbagai genre sastra lisan dalam penuturannya.

Penuturan kisah Lamut versi Gusti Jamhar Akbar yang menjadi rujukan utama Ferdi, berbeda dari gaya palamutan lain yang pernah ada di Banjarmasin dan Kalimantan. Dalam balamut itu ada beberapa genre yang dilebur secara harmonis dalam tuturan: mantra, syair, pantun, narasi, dan dialog. Sebagai penutur sastra lisan madihin, Ferdi mengakui tingkat kesulitan itu.

Ferdi menyadari balamut sangat rumit. Keindahannya akan sangat ditentukan kekayaan koleksi genre sastra lisan Banjar yang dimiliki palamutan. Berbagai macam genre itu dipakai untuk mengembangkan latar, tokoh, dan alur. Meski begitu, tuan rumah merasa puas dengan balamut yang ditampilkannya.

 

Lintas nudaya

Saat Ferdi mengabarkan akan melaksanakan balamut pengobatan, banyak pihak yang tertarik untuk menyaksikan. Namun, karena ruang yang terbatas, pihak keluarga hanya mengizinkan 10 orang. Bagi yang terbiasa menyaksikan ritual itu di rumah keluarga muslim, ritual malam itu memberikan pengalaman baru.

Biasanya, dinding rumah tuan rumah yang melaksanakan balamut dipenuhi dengan foto-foto para wali dan alim ulama, tapi malam itu, dinding rumah pengundang dihiasi foto-foto salib, Yesus, dan Bunda Maria. Ferdi tidak ragu untuk mendoakan keselamatan keluarga Grace secara Islam.

Pada masa-masa popularitas palamutan Gusti Jamhar Akbar, hal semacam itu biasa dia lakukan. Pelaksanaan dalam ranah domestik dan tanpa berita membuat banyak orang tidak tahu bahwa balamut versinya telah lama menjadi bentuk ritual lintas budaya yang menegosiasikan Islam, Kristen, dan kepercayaan lain; Banjar, Jawa, dan Tionghoa. Bagi Gusti Jamhar Akbar, balamut ialah seni negosiasi di bawah satu payung keyakinan yang sama: rahmatan lil alamin, kasih sayang tanpa batas.

Ferdi menjadi tunas muda palamutan baru yang menunjukkan keberaniannya memasuki arena budaya yang tidak mudah. Sebagai penerima anugerah kebudayaan kategori remaja, mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Pertunjukan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat itu kini sangat diharapkan menjadi kunci pelestari balamut meskipun sekarang dia sedang berusaha menyelesaikan skripsinya tentang silsilah penopeng di Banyiur, Banjarmasin.

Tentu, Ferdi tidak bisa sendirian. Diperlukan dukungan pihak lain agar dia berlatih dan melatih dan jam terbang lamutnya terus bertambah. Ayangilah.

 (M-1)

 

Keterangan penulis

Sainul Hermawan merupakan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Kalimantan Selatan. Ia telah menerbitkan sejumlah buku, di antaranya buku kumpulan puisi dan esai Pina Musti (2022), Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2008–2011 (2011), dan buku kumpulan cerita pendek Mata untuk Mama (2009).

Source link

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *