SEBAGAI warga negara-bangsa Indonesia, Sudirman Said bergulat dengan sebuah pertanyaan besar, ‘Mengapa yang diharapkan tidak kunjung hadir, sementara segala syarat kehadirannya telah tersedia, dan bahkan tanda kehadirannya telah terlihat?’. Pertanyaan ini berakar pada keadaan Indonesia yang dalam beberapa tahun belakangan membuatnya gelisah. Sudirman menuangkannya dalam buku berjudul Bergerak Melawan.
Berbagai kenyataan di Indonesia yang termuat dalam buku itu merupakan titik berangkat pemikiran Sudirman Said. Pertanyaan besar tersebut dipertajamkan lagi olehnya dengan mengajukan enam pertanyaan sebagai gugatan terhadap Republik Indonesia dan para warganya. Keenam pertanyaan yang dimaksud adalah ‘keindonesiaan yang mengindonesia?’, ‘kepemimpinan yang berkewajaran?’, ‘demokrasi yang menyehat?’, ‘integritas yang mengukuh?’, ‘solidaritas yang terevaluasi?’, dan ‘bermanusia yang memuliakan?’. Melalui pertanyaan-pertanyaan itu, Sudirman Said menggugat aneka kenyataan dalam Republik Indonesia saat ini. Hasil gugatannya ialah seluruh butir pemikiran yang terangkum dalam buku itu. Pemikiran-pemikiran dalam buku tersebut mengandung daya yang menggerakkan Republik Indonesia untuk terus maju.
Gugatan Sudirman Said terbagi dalam dua pokok, yakni terhadap Republik Indonesia sebagai struktur politis dan terhadap warga Republik sebagai agen. Dua pokok tersebut merupakan kerangka berpikir yang kerap digunakan oleh para pemikir sosial untuk memotret berbagai fenomena sosial-politik-ekonomi. Para pemikir sosial sering memotret fenomena masyarakat, negara, masyarakat adat, praktik ekonomi, agama, dan sebagainya dengan kerangka berpikir struktur dan agen. Sudirman Said melakukan hal yang sama. Ia memikirkan Republik Indonesia dalam kerangka struktur dan agen yang bergerak maju bersama secara wajar. Republik Indonesia ialah struktur yang hidup dan agen yang bergerak maju secara wajar. Itulah kekuatan utama dari seluruh pemikiran Sudirman Said yang terbentang dalam buku tersebut sebagai buah dari gugatannya.
Republik Indonesia: struktur yang hidup
Di bawah pertanyaan ‘keindonesiaan yang mengindonesia?’, Sudirman memikirkan kembali Republik Indonesia sebagai struktur bangsa dan negara yang hidup (hal 1-60). Bangsa (nation) dan negara (state), dalam refleksi kritis Sudirman Said, merupakan gagasan yang menggerakkan sekaligus sepasang dimensi yang manandai identitas Indonesia. Dengan demikian, Republik Indonesia merupakan sebuah struktur sosial-politik yang hidup. Penanda hidupnya ialah dimensi bangsa dan dimensi negara.
Dalam dimensi bangsa (nation), Indonesia merupakan melting pot, ‘kuali peleburan’ yang di dalamnya termuat elemen bangsa yang beraneka ragam saling meleburkan diri dan berinteraksi. Peleburan dan interaksi merupakan upaya saling mengukuhkan dan menguatkan sebagai elemen-elemen konstitutif negeri ini. Sementara itu, dalam dimensi negara, Indonesia ialah negara Republik sejak deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan berfondasikan Pancasila.
Untuk menunjukkan Republik Indonesia sebagai struktur yang hidup, Sudirman Said memikirkan kembali beberapa kekuatan bangsa-negara Indonesia. Kekuatan-kekuatan yang dimaksud ialah Pancasila, daya cinta kepada Indonesia, masyarakat Indonesia beradab (civil society), tahap-tahap kesadaran akan keindonesiaan sebagai langkah-langkah besar warga bangsa-negara Indonesia, kemampuan melewati aneka krisis, keberagamaan para warga, dan cita-cita luhur sebagai daya gerak maju Indonesia.
Aneka kekuatan tersebut merupakan penanda dari ‘keindonesiaan yang mengindonesia’. Artinya, kekuatan-kekuatan itu menandakan Republik Indonesia sebagai struktur yang hidup, ada dalam diri warga Indonesia dan dihayati secara konsisten dari masa ke masa. Kekuatan-kekuatan inilah yang memampukan Republik Indonesia terus bergerak maju secara wajar.
Kekuatan-kekuatan itu memerlukan kepemimpinan yang wajar supaya menjadi konkret dan berdaya guna bagi seluruh warga Indonesia. Kemudian, di bawah judul berbentuk pertanyaan Kepemimpinan yang Berkewajaran?, Sudirman Said mengedepankan sebuah syarat Republik Indonesia sebagai struktur yang hidup ialah pemimpin dengan kepemimpinan yang wajar (61-142).
Fondasi bangsa-negara Republik Indonesia dibangun oleh manusia-manusia yang berkepemimpinan. Sementara itu, kepemimpinan merupakan etos yang dihasilkan dari kikisan kehendak zaman. Seperti ngarai yang terbentuk oleh kikisan wajar angin dan air, demikian pula kepemimpinan Republik ini merupakan hasil dari kikisan kehendak zaman yang berlangsung secara wajar. Karena itu, etos tersebut membentuk sesuatu bernama Republik Indonesia. Kepemimpinan yang demikian merupakan hal yang wajar dalam Republik sebagai struktur yang hidup.
Republik Indonesia hari ini dan masa depan memerlukan pemimpin yang etos kepemimpinannya ialah mencerdaskan seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka. Republik ini memerlukan pemimpin yang berkepemimpinan secara wajar. Kewajaran terungkap dalam sikap dan perilaku pemimpin yang tahu batas-batas kekuasaan, paham budaya dan tata nilai, mampu mempraktikkan etika kepemimpinan, dan berpijak pada pendekatan ilmu pengetahuan. Demikianlah gambaran pemimpin Republik sebagai pemimpin publik yang mampu membawa seluruh warga berjalan dan bekerja bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa-negara Indonesia.
Republik Indonesia sebagai struktur yang hidup terungkap pula dalam memilih demokrasi sebagai jalan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, pada saat ini apakah berlangsung ‘demokrasi yang menyehat?’. Pertanyaan itu menggerakkan setiap warga untuk memeriksa kembali kondisi kesehatan dan praktik demokrasi (hal 142-203). Imperatif etika politik menyeruak dari balik pertanyaan tersebut dan mengultimatum semua pihak bahwa Republik Indonesia ialah struktur yang hidup, yang mempraktikkan demokrasi dengan tumpuan nalar yang sehat.
Di atas tumpuan itu, kompetisi dan kontestasi berlangsung secara sehat, negara dijalankan sebagai sebuah struktur sosial-politik yang hidup, masyarakat satuan sosiologis penting dari Republik, serta budaya politik dan hukum yang sehat secara wajar. Bukan sehat yang dipaksakan oleh pemimpin-pemimpin yang telah pupus rasa malunya. Dalam demokrasi yang sehat, rakyat ialah civil society, mempunyai kedudukan yang setara sebagai penyeimbang dalam tata kelola pemerintahan yang dijalankan oleh para pemimpin Republik.
Bangsa dan negara yang demokrasinya semakin sehat dari hari ke hari juga mempunyai kapasitas untuk mendiagnosis hal-hal yang menyebabkan demokrasi menjadi rentan dimanipulasi. Diagnosis itu penting agar hal-hal fundamental dalam demokrasi ini terwujud: jaminan atas hak-hak demokrasi, supremasi hukum, termasuk hukum yang membatasi kekuasaan, pemilu yang adil, dan pemerintahan yang terbuka terhadap kritik (hal 169). Hanya dalam struktur yang hidup, agen-agennya mempunyai kehendak yang kuat untuk mendiagnosa penyakit laten dalam demokrasi dan mengatasi ancamannya agar demokrasi tetap sehat secara wajar.
Republik Indonesia: agen yang bergerak maju
Republik Indonesia sebagai struktur yang hidup digerakkan oleh agen-agen yang bergerak maju. Agen-agen republik adalah para warga yang berintegritas. Di bawah judul Integritas yang Mengukuh?, Sudirman Said menggaungkan kembali imperatif etika politik yang pernah diserukan oleh filsuf Yunani klasik, Aristoteles: setiap orang harus membentuk dirinya supaya menjadi warga republik yang berkeutamaan. Pengendalian diri, rendah hati, cinta tanah air (patriotik), dan imparsialitas ialah sederet keutamaan-keutamaan etis yang bersinar dalam butir-butir refleksi Sudirman Said tentang integritas warga bangsa-negara Indonesia (hal 205-274). Integritas Republik Indonesia bertumpu pada warga yang berperan sebagai agen yang penggerak republik untuk terus maju.
Ketiadaan integritas para warga dalam berbangsa dan bernegara telah melahirkan praktik busuk seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi lahir dari ketiadaan pengendalian diri, kolusi bersumber dari ketiadaan imparsialitas, dan nepotisme merajalela karena kekosongan sikap rendah hati. Nirintegritas diri para warga sebagai agen Republik Indonesia hanya akan berujung pada tidak terwujudnya cita-cita luhur Republik yang terpatri pada pembukaan UUD 1945. Untuk mengantisipasi dan mengatasi ketiadaan integritas etis itulah, Sudirman Said menggemakan ulang secara wajar keutamaan-keutamaan etis dalam butir-butir pemikirannya tentang integritas.
‘Solidaritas yang terevaluasi?’ dan ‘bermanusia yang memuliakan’ menjadi dua pertanyaan pamuncak dari bentangan pemikiran dalam buku itu (275-421). Solidaritas ialah dimensi konstitutif diri manusia. Manusia digolongkan sebagai makhluk berakhlak karena mempunyai kapasitas untuk menjalin dan mengembangkan solidaritas kepada sesama yang berkesusahan. Dalam Republik yang keberadaanya sebagai melting pot ini, perlu solidaritas yang mengukuhkan negeri ini.
Di dalam Republik yang demikian, setiap warga ialah manusia yang saling memuliakan dan menghormati. Menjadi manusia berarti bermanusia yang memuliakan sehingga mampu melampaui batas-batas kesamaan dan masuk dalam ruang-ruang sosial ketidaksamaan untuk menjalin dan mengembangkan solidaritas sebagai warga bangsa dan negara Republik Indonesia. (M-3)
Judul buku: Bergerak dengan Kewajaran
Penulis: Sudirman Said
Penerbit: Penerbit Lamalera dan Institut Harkat Negeri
Tahun terbit: 2024 (Cetakan III)
Jumlah halaman: 433